Produk
Domestik Bruto
Dalam
bidang ekonomi, produk domestik bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh
suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk
menghitung pendapatan nasional.
Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi. Karena
penduduk bertambah
terus dan berarti kebutuhan
ekonomi juga bertambah terus, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap
tahun. Hal ini yang bisa di dapat lewat peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau
produk domestik bruto (PDB) setiap tahun.
Jadi dalam pengertian
ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB berarti juga
penambahan pendapatan nasional (PN).
Kemiskinan yang berlangsung terus banyak di Afrika
tengah merupakan salah satu contoh konkrit dari tidak adanya penambahan PDB
yang selanjutnya mengakibatkan rendahnya pendapatan nasional di negara-negara
tersebut, sementara
jumlah penduduknya bertambah terus dalam laju yang tinggi.
Pertumbuhan
dan Perubahan struktur ekonomi di Indonesia:
Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia
Struktur perekonomian adalah
komposisi peranan masing-masing sektor dalam perekonomian baik menurut lapangan
usaha maupun pembagian sektoral ke dalam sektor primer, sekunder dan
tersier.
Ada kecenderungan (dapat dilihat
sebagai suatu hipotesis) bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi yang
membuat semakin tinggi pendapatan masyarakat per kapita, semakin cepat
perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi faktor-faktor penentu lain mendukung
proses, seperti manusia (tenaga kerja), bahan baku, dan teknologi tersedia.
Menurut Kuznets, perubahan struktur
ekonomi umum disebut transformasi structural dan dapat didefinisikan sebagai suatu
rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi
permintaan agregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), dan penawaran
agregat (produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja
dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan (Chenery, 1979).
1.
Teori dan Bukti Empiris
Ada dua teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan struktur
ekonomi, yakni dari Arthur lewis (teori migrasi) dan Hollis chenery (teori
transformasi struktural).
Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan eokonomi yang
terjadi di pedesaan dan perkotaan. Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa
perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian
tradisional di pedesaan yang didominasi oleh sektor pertanian dan perekonomian
modern di perkotaan dengan industri sebagai sektor utama.
Teori Chenery, dikenal dengan teori pattern
of development, memfokuskan peda perubahan struktur dalam tahapan proses
perubahan ekonomi di NSB, yang mengalami transformasi dari pertanian
tradisional (subsistens) ke sektor industri sebagai mesin utama penggerak
pertumbuhan ekonomi.
Di dalam kelompok negara-negara sedang berkembang (NSB), banyak negara yang
juga mengalami transisi ekonomi yang pesat dalam tiga dekade terakhir ini,
walaupun pola dan prosesnya berbeda antar negara. Variasi ini disebabkan oleh
perbedaan antarnegara dalam jumlah faktor internal seperti berikut.
a.
Kondisi dan struktur awal ekonomi
dalam negeri (basis ekonomi)
Suatu negara yang awal pembangunan ekonomi/industrialisasinya sudah memiliki
industri-industri dasar, seperti mesin, besi dan baja yang relatif kuat akan
mengalami proses industrialisasi yang lebih cepat dibandingkan negara yang
hanya memiliki industri-industri ringan, seperti tekstil, pakaian jadi, alas
kaki, makanan, dan minuman.
b.
Besarnya pasar dalam negeri
Besarnya pasar domestik ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat
pendapatan riil per kapita.
c.
Pola
distribusi pendapatan
Walaupun tingkat pendapatan rata-rata perkapita naik pesat, tetapi kalau
distribusinya sangat pincang, kenaikan pendapatan tersebut tidak terlalu
berarti bagi pertumbuhan industri-industri selain industri-industri yang
membuat barang-barang sederhana makanan dan minuman, Sepatu dan pakaian jadi (tekstil).
d.
Karakteristik dari
industrialisasi
Cara pelaksanaan atau strategi pengembangan industri yang diterapkan, jenis
industri yang diunggulkan, pola pembangunan industri, dan insentif yang
diberikan.
e.
Keberadaan SDA
Ada kecenderungan bahwa yang kaya SDA mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih
rendah atau terlambat melakukan industrialisasi atau tidak berhasil melakukan
diversifikasi ekonomi (perubahan struktur) daripada negara yang miskin SDA.
f.
Kebijakan perdagangan luar negeri
Fakta menunjukan bahwa di negara yang menerapkan kebijakan ekonomi tertutup (inward looking), pola dan hasil
industrialisasinya berbeda dibandingkan di negara-negara yang menerapkan
kebijakan ekonomi terbuka (outward
looking).
2.
Kasus Indonesia
Kalau dilihat sejak awal era pemerintahan orde baru hingga sekarang, dapat
dikatakan bahwa proses perubahan struktur ekonomi Indonesia cukup pesat. Namun
demikian, penurunan rasio output pertanian terhadap PDB tersebut tidak berarti
bahwa volume produksi di sektor tersebut berkurang selama periode tersebut
(pertumbuhan rata-rata per tahun negatif).
Penurunan tersebut disebabkan oleh laju pertumbuhan output (rata-rata per tahun
total) di sektor tersebut relatif lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan
output dari sektor industri.
Krisis Ekonomi 1997/1998
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menjelang akhir tahun 1997 dan mencapai
klimaksnya pada tahun 1998 sangat memukul perekonomian Indonesia. Pada tahun
1998 PDB merosot tajam hingga 13% yang membuat pendapatan per kapita juga
menurun drastis. Merosotnya PDB hingga 13% bukan suatu hal yang kecil,
mengingat bahwa sepanjang sejarah Indonesia sejak 1945 hingga 1996 ekonomi
Indonesia belum pernah mengalami PDB hingga 13%.
Dari sisi suplai, sektor industri manufaktur dan sektor konstruksi (bangunan),
yang pada era orde baru bukan saja berkembang sangat pesat, tetapi juga sebagai
motor utama pertumbuhan ekonomi juga mengalami penurunan produksi yang
signifikan. Krisis ekonomi tersebut diawali oleh krisis keuangan dan yang
terakhir ini disebabkan oleh krisis rupiah.
Menjelang pertengahan 1997, ekonomi dari negara-negara Asia , khususnya Indonesia,
Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan, mulai menunjukkan kecenderungan memanas, yang
salah satu tandanya adalah laju inflasi yang mulai merangkak naik. Dan
menjelang tahun 1998 semakin defisit dan ini biasanya menimbulkan kenaikan
utang, khususnya dari luar negeri.
Langkah-langkah yang harus diambil agar krisis serupa tidak terulang lagi
adalah sebagai berikut:
(1) Ekspor
diperkuat,
(2) Ketergantungan
pada ULN, impor, dan investasi jangka pendek atau yang bermotivasi
spekulasi dihilangkan,
(3) Sektor
perbankan diperkuat,
(4) Menerapkan
kembali mekanisme penentuan kurs berdasarkan sistem bebas terkendali, dan
(5) Menyiapkan
cara/kebijakan penanggulangan krisis yang bagus dengan memerhatikan semua
faktor yang secara teori sangat memungkinkan munculnya suatu krisis serupa.
Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia Sejak Orde Baru Hingga Pasca Krisis
Melihat kondisi pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan orde baru
(sebelum krisis 1997) dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami suatu
proses pembangunan ekonomi yang spektakuler, paling tidak pada tingkat makro.
Dua di antaranya yang umum digunakan adalah tingkat PN per kapita dan laju
pertumbuhan PDB per tahun.
Resensi
ekonomi dunia yang terutama disebabkan oleh rendahnya laju pertumbuhan PDB atau
PN di NM (negara maju), yang secara bersama mendominasi
perdagangan dunia, mengakibatkan lemahnya permintaan dunia terhadap
barang-barang ekspor dari Indonesia, yang selanjutnya dapat menyebabkan defisit
saldo neraca perdagangan.
Pada
awalnya, salah satu faktor penting yang menyebabkan merosotnya kegiatan
invertasi di dalam negeri selama masa krisis, seperti juga di negara-negara
Asia lain yang terkena krisis (Korea Selatan dan Thailand), adalah karena
kerugian besar yang di alami oleh banyak perusahaan swata akibat depresiasi
rupiah yang besar, sementara uang luar negerinya dalam mata uang dolas AS tidak
dilindungi (hedging) sebelumnya
dengan kurs tertentu di pasar berjangka waktu ke depan (forward).
Antara
tahun 1965 sampai 1997 perekonomian Indonesia tumbuh dengan persentase
rata-rata per tahunnya tujuh persen. Dengan pencapaian ini Indonesia
tidak lagi berada di tingkatan “negara-negara berpendapatan rendah” melainkan
masuk ke tingkatan “negara-negara berpendapatan menengah”. Meskipun demikian,
krisis keuangan Asia yang terjadi di akhir tahun 1990an telah memberikan
efek negatif bagi perekenomian nasional, akibatnya produk domestik bruto (PDB)
Indonesia turun 13.6 persen di tahun 1998 dan naik sedikit di tahun 1999
sebanyak 0.3 persen. Antara tahun 2000 sampai 2004 perekenomian mulai memulih
dengan rata-rata pertumbuhan PDB sebanyak 4.6 persen per tahun. Setelah itu PDB
Indonesia meningkat dengan nilai rata- rata per tahun sekitar enam persen,
kecuali tahun 2009 dan 2013, ketika gejolak krisis keuangan global dan
ketidakpastian terjadi.
Di Indonesia , pada
awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan
ekonomi di Jakarta masih
sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi akan menghasilkan apa yang
dimaksud dengan trickle down effect.
Pada awal periode orde baru hingga akhir dekade 1970-an strategi pembangunan
ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Soeharto lebih terfokus kepada bagaimana
mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang
relatif singkat. Namun sejarah menunjukan setelah 10 tahun berlalu sejak Pelita
1 yang dimulai tahun 1969 ternyata hasil yang diharapka tidak ada atau bisa
dikatakan efek yang diinginkan tidak berhasil. Akhirnya, sebagai akibat dari
strategi itu pada dekade 1980-an hingga pertengahan 1990, sebelum krisis
ekonomi, Indonesia memang menikmati laju pertumbuhan ekonomi atau PDB yang
cukup tinggi, tetapi tingkat kesenjangan masyarakat juga semakin besar dan
jumlah orang miskin juga masih banyak.
Faktor-faktor
Penentu Prospek Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Di
dalam teori-teori konvesional, pertumbuhan
ekonomi sangat di tentukan oleh ketersediaan dan kualitas dari faktor-faktor
produksi, seperti sumber daya manusia, capital, teknologi, bahan baku, entrepreuneuship, dan energi. Akan
tetapi, faktor penentu tersebut untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang, bukan
pertumbuhan jangka pendek. Dengan perkataan lain pertumbuhan ekonomi Indonesia
tahun ini akan lebih baik, sama, atau lebih buruk daripada tahun 2000 lebih
ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya lebih jangka pendek yang dapat di
kelompokan kedalam faktor-faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor
internal dapat dibedakan lagi antara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor
nonekonomi , khususnya politik dan sosial. Sedangkan faktor-faktor eksternal
didominasi oleh faktor-faktor ekonomi, seperti perdagangan internasional dan
pertumbuhan ekonomi kawasan atau dunia.
a. Faktor Internal
Krisis
ekonomi pada tahun 1998 yang disebabkan oleh buruknya fundamental ekonomi nasional, serta lambatnya proses
pemulihan ekonomi nasional pasca peristiwa tersebut menyebabkan banyak investor
asing yang enggan (bahkan hingga sampai saat ini) menanamkan modalnya di
Indonesia. Kemudian proses pemulihan serta perbaikan ekonomi nasional juga tidak
disertai kestabilan politik dan keamanan yang
memadai, penyelesaian konflik sosial , serta tidak adanya kepastian hukum. Padahal
faktor-faktor non ekonomi inilah yang merupakan aspek penting dalam menentukan
tingkat resiko yang terdapat di dalam suatu Negara untuk menjadi dasar keputusan
bagi para pelaku usaha atau investor terutama asing, untuk melakukan usaha
atau menginvestasikan modalnya di Negara tersebut.
b. Faktor Eksternal
Kondisi perdagangan dan perekonomian regional serta dunia
merupakan faktor eksternal yang sangat penting untuk mendukung
proses pemulihan ekonomi di Indonesia. Mengapa kondisi perdagangan dan
perekonomian regional atau dunia tersebut dinilai penting? Sebab, apabila kondisi
perdagangan dan perekonomian Negara-negara tersebut terutama mitra Indonesia
sedang melemah, maka akan berdampak pula pada proses pemulihan yang akan
semakin mengulur waktu dan akibatnya dapat menghambat kemajuan perekonomian
di Indonesia.
Contoh Kasus:
Nusa
Dua, Bali. Indonesia expects contribution from economic activities in its
oceans to double in the next decade, setting an ambitious goal that
reflects the country's concerted effort to clean up its oceans, develop
sustainable fisheries, explore deep sea mining and establish world class
tourist destinations.
"In
the next decade, economic activities on our oceans, like offshore [oil and gas
drilling], tourism or fisheries could contribute up to 25 percent of our GDP,
from just 11 percent today," Vice President Jusuf Kalla said on Thursday
(23/02). He was speaking in one of the forums at the World Ocean Summit in
Bali, which gathers global chief executives, government officials and
non-government organizations from 44 countries to discuss global maritime
issues.
Indonesia,
the world's largest archipelago, has liberalized investment on its fisheries
sector to attract foreign investment, particularly to help process fishes for
export.
Coordinating
Minister for Maritime Affairs Luhut Pandjaitan said the government is pinning
its hope on the fisheries industry to accelerate production in the next decade.
"We produce less than 10 percent of our full fishery potential every year.
There's an enormous room for growth there," Luhut told reporters at the
summit.
The
fishery sector contributes about 8 percent of Indonesia's $930 billion gross
domestic product last year and it was also one of the fastest growing
sector in the economy. The country's export target this year is $5 billion
worth of fish and other sea catch, up 19 percent from $4.2 billion
last year.
Luhut
said Indonesia is on the right track to increase its fishery production, which
started with a crackdown on illegal and unregulated fishing led by Minister of
Maritime Affairs and Fisheries Susi Pudjiastuti.
It also
launched a $1 billion initiative on Wednesday to clean up its
seas from plastic waste, which kills fish and destroys tourism, even
in remote areas.
The
government is seeking $20 billion in investment to develop ten priority tourist
destinations across the archipelago — of which seven will rely on maritime
tourism — over the next few years to help attract 20 million tourists by
2019.
"The
tourism sector is a low hanging fruit to grow our economy and creates jobs.
Results have been apparent since we open direct [flights] to favorite
destinations," Luhut said.
Indonesia
attracted 11.5 million foreign tourists last year, up 10 percent from 10
million in 2015.
The
country also launched an initiative to map its vast sea floor to find more
deep sea mining resources as well as pushed for more exploration of offshore
oil and gas.
"On
the oil and gas sector, we have to look for the right balance. Everywhere
in the world, companies are coming up with an electric car. That could
make oil and gas investment less lucrative," he said.
"We
should not let our other [minerals] resources lie untouched on our sea bed. We
should look into them more," he added.
Across
the country, the government has been building new ports and launching
subsidized sea vessels to ensure seamless distribution of goods between
industrial center Java and natural resource-rich islands in eastern parts of
Indonesia.
The
minister said the Indonesian government can only come up with 25 percent of the
total investment needed to boost the country's fishery, energy, transport and
tourism industries. "We need the rest from the private sector and we are
more than willing to give them incentives to come here," Luhut said.
Sumber:
http://jakartaglobe.id/business/indonesia-double-gdp-contribution-maritime-sector-next decade/
Tambunan,
Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia:
Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar