PASAL-PASAL DI DALAM HUKUM PERDATA
Nama: Adiza Larasati
NPM: 2B216913
A. Hukum Dagang
Hukum dagang sejatinya adalah hukum perikatan yang
timbul dari lapangan perusahaan. Istilah perdagangan memiliki akar kata dagang.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah dagang diartikan
sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk
memperoleh keuntungan. Istilah dagang dipadankan dengan jual beli atau niaga.
Sebagai suatu konsep, dagang secara sederhana dapat diartikan sebagai perbuatan
untuk membeli barang dari suatu tempat untuk menjualnya kembali di tempat lain
atau membeli barang pada suatu saat dan kemudian menjualnya kembali pada saat
lain dengan maksud untuk memperoleh kuntungan. Perdagangan berarti segala
sesuatu yang berkaitan dengan dagang (perihal dagang) atau jual beli atau
perniagaan (daden van koophandel) sebagai pekerjaan sehari-hari.
Ada istilah lain yang perlu untuk dijajarkan dalam
pemahaman awal mengenai hukum dagang, yaitu pengertian perusahaan dan
pengertian perniagaan. Pengertian perniagaan dapat ditemukan dalam kitab
undang-undang hukum dagang sementara istilah perusahaan tidak. Pengertian
perbuatan perniagaan diatur dalam pasal 2? 5 kitab undang-undang hukum dagang.
Dalam pasal-pasal tersebut, perbuatan perniagaan diartikan sebagai perbuatan
membeli barang untuk dijual lagi dan beberapa perbuatan lain yang dimasukkan
dalam golongan perbuatan perniagaan tersebut. Sebagai kesimpulan dapat
dinyatakan bahwa pengertian perbuatan perniagaan terbatas pada ketentuan
sebagaimana termaktub dalam pasal 2- 5 kitab undang-undang hukum dagang
sementara pengertian perusahaan tidak ditemukan dalam kitab undang-undang hukum
dagang.
a.
Hubungan Hukum Dagang dan Hukum Perdata
Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai pengertian hukum
dagang, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai hubungan antara hukum
dagang dan hukum perdata. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan
antara perseorangan yang lain dalam segala usahanya untuk memenuhi
kebutuhannya. Salah satu bidang dari hukum perdata adalah hukum perikatan. Perikatan
adalah suatu perbuatan hukum yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan,
antara dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri, yang menyebabkan pihak
yang satu mempunyai hak atas sesuatu prestasi terhadap pihak yang lain,
sementara pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi tersebut.
Apabila dirunut, perikatan dapat terjadi dari
perjanjian atau undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Hukum dagang sejatinya
terletak dalam hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan.
Perikatan dalam ruang lingkup ini ada yang bersumber dari perjanjian dan dapat
juga bersumber dari undang-undang.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa hukum
dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.
Hukum perdata diatur dalam KUH Perdata dan Hukum Dagang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Kesimpulan ini sekaligus menunjukkan
bagaimana hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perdata
merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum dagang merupakan hukum khusus
(lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari kedua kelompok hukum tersebut,
maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai lex specialis derogat lex
generalis, artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang
bersifat umum. Adagium ini dapat disimpulkan dari pasal 1 Kitab undang-Undang
Hukum Dagang yang pada pokoknya menyatakan bahwa: Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak khusus
diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang
disinggung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
b.
Perkembangan Hukum Dagang
Hukum-Dagang KUH Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) berdasarkan asas konkordansi.
Asas Konkordansi menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Belanda, berlaku juga
di Hindia Belanda atas dasar asas unifikasi. Wetbook van Koophandel disahkan
oleh Pemerintah Belanda dan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1838.
Berdasarkan asas konkordansi, diberlakukan di Hindia Belanda berdasarkan
Staatblaad 1847 No. 23 yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848.
Apabila dirunut kebelakang, Wetbook van Koophandel
atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Hindia Belanda) merupakan turunan dari
Code du Commerce, Perancis tahun 1808, namun demikian, tidak semua isi dari
Code du Commerce diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Misalnya tentang
Peradilan khusus yang mengadili perselisihan dalam lapangan perniagaan, yang
dalam code du commerce ditangani oleh lembaga peradilan khusus (speciale
handelrechtbanken), tetapi di Belanda perselisihan ini ditangani dan menjadi
jurisdiksi peradilan biasa.
Sementara itu, di Perancis sendiri Code du
Commerce 1908 merupakan kodifikasi hasil penggabungan dari dua kodifikasi hukum
yang pernah ada dan berlaku sebelumnya, yaitu Ordonance du Commerce 1963 dan
Ordonance de la Marine 1681. Kodifikasi Perancis yang pertama ini terjadi atas
perintah ra Lodewijk.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang masih berlaku di
Indonesia berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 yang pada pokoknya
mengatur bahwa peraturan yang ada masih tetap berlaku sampai pemerintah
Indonesia memberlakukan aturan penggantinya. Di negeri Belanda sendiri Wetbook
van Koophandel telah mengalami perubahan, namun di Indonesia Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang tidak mengalami perubahan yang komprehensif sebagai suatu
kodifikasi hukum. Namun demikian kondisi ini tidak berarti bahwa sejak
Indonesia merdeka, tidak ada pengembangan peraturan terhadap permasalahan
perniagaan. Perubahan pengaturan terjadi, namun tidak tersistematisasi dalam
kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Strategi perubahan pengaturan
terhadap masalah perniagaan di Indonesia dilakukan secara parsial (terhadap
substansi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan membuat peraturan baru terhadap
substansi yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pada dasarnya memuat
dua (2) substansi besar, yaitu tentang dagang pada umumnya dan tentang hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelayaran.
Bursa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat melalui lembaga pasar
modal sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan
Bursa Komoditi Berjangka yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi. Terhadap ketentuan wesel, cek, promes,
sekalipun belum diubah tetapi lembaga surat berharga telah dilengkapi dengan
berbagai peraturan yang tingkatnya dibawah UU, khusus untuk Surat Utang Negara
(SUN), yang termasuk dalam kategori surat berharga, diatur dalam UU No. 24
Tahun 2002. Sementara tentang Pertanggungan (asuransi) telah berkembang menajdi
industri yang sangat besar. Pengaturan terhadap pertanggungan telah mengalami
perkembangan yang cukup mendasar, khususnya dengan diberlakukannya UU No. 2
Tahun 1992 tentang Perasuransian.
B.
Hukum
Hutang Piutang
Hutang
piutang adalah dalam koridor hukum perdata, yaitu aturan mengatur hubungan
antara orang yang satu dengan orang yang lainnya dengan menitik beratkan pada
kepentingan perseorangan atau pribadi. Dalam hutang piutang terdapat
sekurangnya dua pihak kreditur (yang berpiutang) dan debitur (yang berhutang). Hutang
piutang di anggap sah secara hukum apabila dibuat suatu perjanjian tertulis atau
lisan dengan saksi.
·
Jenis Piutang Negara
Khusus piutang yang berasal dari
badan Negara di atur secara khusus dalam UU No. 49 Prp. 1960 tentang PUPN.
Didalam pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960 tanggal 14 Desember 1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara disebutkan bahwa : “ yang dimaksud
piutang Negara atau hutang kepada negara ini ialah, uang yang wajib dibayar
kepada atau Badan-Badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai
oleh Negara berdasarkan suatu peaturan, perjanjian atau sebab apapun”
·
Hapusnya Penanggungan Hutang
Hapusnya penanggungan hutang diatur dalam pasal
1845-1850 KUHPerdata. Di dalam pasal 1845 KUHPerdata disebutkan bahwa perikatan
yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang
menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya, pasal ini menunjuk kepada pasal
1381,1408, 1424, 1420, 1437, 1442, 1574, 1846, 1938, dan 1984 KUHPerdata.
Didalam
pasal 1381,ditentukan 10 cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang yaitu
pembayaran; penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpangan atau
penitipan; pembaruan hutang; kompensasi hutang; pencampuran hutang; pembebasan
utang; musnahnya barang terutang; kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya
syarat pembatalan.
·
Hak Kebendaan yang Bersifat
Sebagai Pelunasan Hutang (Hak Jaminan)
Pengertian
hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (Hak Jaminan) adalah hak
jaminan yang melekat pada kerditur yang memberikan kewenangan untuk melakukan
eksekusi pada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wanprestasi
terhadap suatu prestasi (perjanjian).
Dengan
demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak jaminan merupakan
perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dariperjanjian pokoknya, yakni
perjanjian hutang piutang (perjanjian Kredit).
Perjanjian
pinjaman bersirat dalam pasal 1754 KUHPerdata tentang perjanjian pinjaman
pengganti yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan
degan bentuk dan kualitas yang sama.
·
Macam-Macam Pelunasan Hutang
Dalam
pelunasan hutang terdiri dari pelunasan bagi jaminan yang bersifat umum dan
jaminan yang bersifat khusus.
1.
Jaminan Umum
Pelunasan
hutang dengan jaminan umum didasarkan pada pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132
KUHPerdata.
Dalam pasal
1131 KUHPerdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang ada maupun
yang akan ada, baik bergerakmauun yang tidak bergerak, merupakan jaminan
pelunasan hutang yang dibuatnya. Sedangkan pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan,
harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur
yang memberikan hutang kepadanya.
Pendapatan
penjualan berbeda-beda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yakni besar
kecilnya piutang masing-masing kecuali diantara para piutang itu ada
alasan-alasan sah untuk didahulukan.
2.
Jaminan Khusus
Pelunasan hutang dengan jaminan
khusus merupakan hak khusus pada jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik,
hak tanggungan.
3.
Gadai
Dalam pasal
1150 KUHPerdata disebutkan bahwa gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas
suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain
atas namanya untuk menjamin suatu hutang. Selain itu memberikan kewenangan
kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu
dar kreditur-kreditur lainnya kecuali biaya-biaya untuk melelang barang dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu dan biaya-biaya itu
didahulukan.
C. Hukum Kontrak Kerjasama
Syarat sahnya kontrak
dapat dikaji berdasarkan hukum kontrak yang terdapat didalam KUH Perdata dan
hukum kontrak yang ada di Amerika.
Untuk
mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian
tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan
kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada
umumnya, sebagai berikut
·
Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH
Perdata
Disebut
dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi
apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa
kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah
satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak
dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu
kontrak yang sah.
1. Adanya
kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)
Dengan
syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh
hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur
oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan
kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a) Paksaan (dwang, duress)
b) Penipuan (bedrog, fraud)
c) Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana
pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila
diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat
wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah
orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana
pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap.
Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita
temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang berada dibawah pengampuan
c) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang
ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan
masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
·
Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH
Perdata
Disebut
dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi
hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak
yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak
tersebut telah batal.
3. Obyek
/ Perihal tertentu
Dengan
syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan
hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita
temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal
1332 KUH Perdata menentukan bahwa
“Hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan
pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa
“Suatu
perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya
Tidaklah
menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu
terkemudian dapat ditentukan / dihitung”
4. Kausa
yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya
adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai
hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh
undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum
(Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab
yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Atau
ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi
beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar
suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1. Syarat
sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a) Objek / Perihal tertentu
b) Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2. Syarat
sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a) Adanya kesepakatan dan kehendak
b) Wenang berbuat
3. Syarat
sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
a) Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
b) Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c) Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d) Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
4. Syarat
sah yang khusus
a) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c) Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk
kontrak-kontrak tertentu
d) Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak
tertentu
D. Hukum Karyawan/buruh dengan
Perusahaan/Organisasi
Istilah
Perjanjain Perburuhan dikenal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun1945 Tentang
Perjanjain Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan,
Undang-Undang ini merupakan salah satu dari Undang-undang yang dinyatakan
dicabut dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Perjanjain
Perburuhan/Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau dalam Undang Undang
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Collective Labour
Agreement (CLA) dan dalam bahasa Belanda disebut dengan Collective
Arbeids Overemkomst (CAO).
Dalam Pasal
1601 a KUHPerdata dalam ketentuan mengenai perjanjian kerja disebutkan bahwa :
“ Perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah
perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan
pekerjaan dengan menerima upah ”.
Dalam Pasal 1601 n KUHPerdata dalam
ketentuan mengenai Perjanjian Perburuhan disebutkan bahwa :
“Perjanjian Perburuhan adalah
peraturan yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang perkumpulan majikan yang
berbadan hukum dan atau beberapa serikat buruh hukum, mengenai syarat-syarat
kerja yang harus diindahkan pada waktu membuat perjanjian kerja”.
Unsur-unsur
dalam Perjanjian Kerja
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas, dapat
ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja, yakni :
a. Adanya Unsur Work atau
Pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus
ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut
haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat
menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603 a yang
berbunyi :
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya
dengan seizin majikania dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya’.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat
pribadi karena bersangkutan ketrampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika
pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
b. Adanya Unsur Perintah
Manifestasi dari
pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang
bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan
hubungan lainnya.
c. Adanya Unsur Upah
Upah memegang peranan penting dalam
hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama orang bekerja pada
pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak unsur upah, maka
suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.
E. Hukum Perjanjian
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi :
“Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
·
Macam-macam Perjanjian
1. Perjanjian
dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian
dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
(Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata). Perjanjian dengan beban ialah suatu
perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak
lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2.
Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian
sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu
pihak saja.Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi
kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3.
Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian
konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah
perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara
tertulis.Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya
kata sepakat, harus diserahkan.
4.
Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Perjanjian
bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan
kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata
ditambah titel VIIA. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak
diatur secara khusus. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung
berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
·
Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya
perjanjian mempunyai arti penting bagi :
· Kesempatan penarikan kembali penawaran;
· Penentuan resiko;
· Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
· Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan
Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang
dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya
konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang
diperjanjikan.
Pada umumnya
perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud
konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara
para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan
persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa
yang disepakati.
Mariam Darus
Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang
disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak
yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima
penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi
pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang
akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan
kontrak/perjanjian.
·
Pembatalan dan Pelaksanaan
Suatu Perjanjian
Itikad baik
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai
pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual
beli.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar